Sudah Adil Kah?

Oleh: Nuranisa Harfiana

Aku seorang mahasiswa dan adikku masih duduk di bangku sekolah dasar. Uang jajanku lebih besar dari uang jajan adikku. Tak jarang bahkan sangat sering adikku mengeluh bahwa hal itu tidak adil. Jadi seperti apa sebenarnya keadilan itu? Apakah hanya cerita fiksi saja? Atau bahkan hanya sebuah kemustahilan?

Menurut W.J.S. Poerwodarwintokata adil berarti tidak berat sebelah, harus tidak ada kesewenang-wenangan dan tidak memihak. Pertanyaannya adalah apakah di Indonesia adalah negara yang adil? Dari berbagai aspek, apakah semuanya bebas dari kesewenang –wenangan? Atau dalam hukumnya misalkan, apakah sudah tidak ada lagi kata pihak memihak? Rasanya semua pertanyaan saya di atas masih tidak pantas dijawab dengan kata iya. Dengan kata lain, semuanya masih belum bisa terwujud.

Jika berbicara keadilan di negeri ini, pikiran kita pasti cenderung menohok kepada para pemegang kekuasaan dan sistem hukum yang dalihnya sedang memperjuangkan keadilan. Hanya berdalih, semuanya hanya tentang visi mereka yang niatnya memperjuangkan keadilan. Tapi, nyatanya proses yang mengiringinya pun diluar batas keadilan. Apa memang bisa hukum di sebuah negeri dibeli dengan uang? Jawabannya sudah pasti iya di negara kita ini. walaupun banyak orang yang berpura pura tidak tahu akan hal ini, entah dengan alasan dialah sang pelaku atau dia hanya ingin menghindar dari sebuah masalah dan tidak ingin ikut campur. Di negara kita ini Siapapun yang memiliki uang pasti bisa memenangkan hukum , apalagi mendapatkan keadilan yang ia kehendaki. Menurut mereka perlakuan mereka itu adil, tapi bagaimana dengan orang orang yang hanya diam karena kalah saing dengan nominal uang mereka? Apakah adil itu masih nyata bagi mereka? Kurasa tidak.

Belum lagi jika sebuah keadilan itu hanya kepura puraan semata. Contoh nya adalah saat yang terdakwa telah dinyatakan bersalah dan menerima hukumannya dengan masuk ke dalams sel tahanan. Menurut saya hal ini saya  hanyalah kepura-puraan semata. Hanya ingin menjadikan tindakannya sebagai pengalihan tanggapan publik bahwa mereka patuh terhadap hukum dan perwujudan keadilan. Tapi, nyatanya? Di dalam sel tahanan para narapidana yang masih mempunyai uang dan koneksi masih bisa menikmati fasilitas penjara layaknya hotel. Masih bisa berkomunikasi dengan dunia luar. Lalu apa efek jeranya bagi mereka? Kemudahan hukum di indonesia ini hanya membuat mereka berfikir betapa mudahnya berbuat kesalahan tanpa takut akan hukuman yang nantinya bisa mereka terima karena saat ini uang masih berpihak kepada mereka.

Bagaikan bumi dan langit, berbeda cerita dengan rakyat kecil yang mencuri sebutir biji kopi yang mendapatkan masa kurungan lebih dari masa kurungan para koruptor. Padahal jika difikir para koruptorlah yang lebih banyak mencuri uang rakyat dibanding harga sebutir biji kopi.  Belum lagi fasilitas dipenjara yang otomatis tidak akan sama dengan sang pencuri kopi rasakan dengan sang koruptor yang punya kewenangan. Sampai disini, apakah keadilan masih nyata?

Sebuah kutipan dalam buku fiksi berjudul 11:11 karangan fiersa besari yang  menurut saya mampu menyinggung dengan lembut sistem keadilan di negara ini. Walaupun buku fiksi, tapi sindirannya sangat nyata menurutku. Untuk kalian yang mungkin belum pernah membaca bukunya, dengan senang hati saya bisa membagikannya lewat tulisan ini.

Di dalam buku tersebut tertulis sebuah puisi seperti ini “ Wahai keadilan, apa kabar? Apakah kau baik baik saja? Sekarang sedang sibuk apa? Begitu sibukkah sampai sampai aku tak pernah melihatmu berkunjung ke kehidupanku? Dimana kau berada saat keluarga ku butuh bantuan? Dimana kau berada saat aku kesulitan untuk bersekolah? Dimana kau berada saat aku kehujanan dikelas karena atap yang menganga. Kucari kau ke pantai sampai ke kolong dipan, tapi tidak juga kutemukan. Ataukah kau sedang sibuk mengurusi orang orang kota, berkutat dengan kemewahan mereka? Ataukah kau memang tidak pernah ada, sebatas fiksi yang hanya bisa ku lihat di layar kaca? Ah, tapi untuk apa juga kau berkunjung ke kehidupanku. Siapalah aku? Hanya satu dari banyaknya anak kecil yang  tidak mengerti mengapa wakil rakyat bisa berobat ke luar negeri sementara ibuku yang memang rakyat tidak pernah punya cukup uang untuk berobat.”

Mungkin sampai situ saja yah, jangan sampai tulisan ini menjadi tulisan bedah buku. Walaupun hanya buku fiksi, tapi menurut saya tulisan karya Fiersa Besari itu cukup mampu menohok pelaku  pelaku tersebut yang saat ini merasa maupun yang masih tidak tahu diri di luar sana. Jika ingin tahu kelanjutannya silahkan baca sendiri dalam bukunya.

Terlepas dari semua itu, seharusnya kita sebagai generasi muda seharusnya bisa bersikap bijak untuk menghadapi hal ini bukan malah terus menerus ikut aturan tanpa mengerti fungsinya atau malah ikut ikutan menjadi oknum-oknum yang malah memperburuk situasi karena berfikiran bahwa hukum di Indonesia ini sudah tidak benar  untuk apa lagi dibenarkan. Ayolah, hilangkan fikiran iblis semacam itu.

 

Tinggalkan komentar